Upacara Adat Rambu Solo – Sulawesi Selatan - Budaya Indonesia
Tari Bedhaya Tari Reog Mbaru Niang

Sabtu, 28 Oktober 2017

Upacara Adat Rambu Solo – Sulawesi Selatan





Pengertian Rambu Solo` adalah upacara pemakaman yang berada di Tana Toraja. Upacara ini merupakan adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun-temurun ini mewajibkan keluarga yang ditinggal mati membuat pesta besar sebagai penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi.

Rambu Solo juga merupakan upacara yang meriah karena dilangsungkan selama berhari-hari. Waktu pelaksanaan Rambu Solo adalah siang hari, yaitu saat matahari condong ke barat dan biasanya memakan waktu dua sampai tiga hari, bahkan dua minggu bagi kalangan bangsawan.

B. Simbol-Simbol dalam Rambu Solo
Pelaksanaan Rambu Solo` juga identik dengan penyembelihan kerbau dan babi. Tetapi yang paling ditonjolkan dalam upacara tersebut adalah penyembelihan kerbau. Kerbau merupakan hal utama yang harus ada dalam upacara ini. Masyarakat Toraja beranggapan bahwa kerbau adalah kendaraan yang ditunggangi arwah si mati untuk mengantarnya ke surga. Kerbau yang disembelih berkisar puluhan ekor bahkan jumlah itu bisa mencapai ratusan berdasarkan strata sosialnya. Jenis kerbau yang disembelih adalah kerbau biasa/kerbau hitam, kerbau balian (kerbau aduan), dan kerbau belang (kerbau Bonga).

C. Prosesi Upacara Rambu Solo
Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ‘sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.

Jika keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah itu akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja) sampai pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan jenazah itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Setelah pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut, barulah Rambu Solo dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke tongkonan tammuon (tongkonan pertama tempat dia berasal). Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma’tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.

Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.

Setelah disimpan satu hari, jenazah dipindahkan ke tongkonan yang lebih tinggi, yaitu tongkonan barebatu. Prosesinya juga sama saat jenazah itu dipindahkan ke tongkonan tammuon., yaitu penyembelihan kerbau dan pembagian dagingnya kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.

Seluruh prosesi acara Rambu Solo’ selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung).

Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).

Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.

Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.

Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.

Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.

Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu Solo’, adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.

Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane’ (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).

D. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Rambu Solo
Upacara Rambu Solo memiliki nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat, di antaranya adalah gotong royong dan tolong-menolong. Meskipun terlihat sebagai pemborosan karena mencari harta untuk dihabiskan dalam suatu kematian, unsur gotong royong yang terlihat sangatlah jelas, contohnya dalam hal penyediaan kerbau. Suatu keluarga yang dirundung duka (yang ditinggal mati) mendapat sumbangan kerbau, babi, atau uang dari sanak keluarganya untuk melangsungkan Rambu Solo.

Unsur tolong-menolong pun juga berperan dalam pelaksanaan Rambu Solo. Upacara ini dilakukan oleh siapa pun yang mampu. Biasanya, ada juga pembagian daging kerbau kepada orang-orang yang tidak mampu. Hal ini menyebabkan adanya pengurangan kesenjangan sosial.

Selain dua nilai di atas, nilai religi juga tampak dari upacara Rambu Solo. Masyarakat Toraja memaknai kematian sebagai suatu hal tak ditakuti karena mereka percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian. Bagi mereka, kematian adalah bagian dari ritme kehidupan yang wajib dijalani. Walau boleh ditangisi, kematian juga menjadi kegembiraan yang membawa manusia kembali menuju surga, asal-muasal leluhur. Dengan kata lain, mereka percaya adanya kehidupan setelah kematian.

Dalam upacara kematian Rambu Solo, kesedihan tidak terlau tergambar di wajah-wajah keluarga yang berduka, sebab mereka punya waktu yang cukup untuk mengucapkan selamat jalan kepada si mati, sebab jenazah yang telah mati biasanya disimpan dalam rumah adat ( tongkonan ), disimpan bisa mencapai hitungan tahun. Maksud dari jenazah disimpan ada beberapa alasan, pertama adalah menunggu sampai keluarga bisa atau mampu untuk melaksanakan upacara kematian Rambu Solo, kedua adalah menunggu sampai anak-anak dari si mati datang semua untuk siap menghadiri pesta kematian ini. Karena mereka menganggap bahwa orang yang telah mati namun belum diupacarakan tradisi Rambu Solo ini dianggap belum mati dan dikatakan hanya sakit, karena statusnya masih “ sakit “. Orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup.

Sumber : sejarahbudaya
Refrensi (1):STIKI Malang
Refrensi (2):SSC STIKI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar