Tradisi Buton - Sulawesi - Budaya Indonesia
Tari Bedhaya Tari Reog Mbaru Niang

Minggu, 05 November 2017

Tradisi Buton - Sulawesi




Buton, adalah negeri yang indah dan penuh dengan adat istiadatnya yang selalu diwarisi turun temurun.
Salah satunya adalah pingit/bakurung/posuo.
Ritual posuo diadakan sebagai sarana untuk peralihan status remaja bagi seorang gadis menjadi dewasa.Anak remaja disebut kabuabua,sementara gadis dewasa disebut Kalambe. 

Ritual Posuo biasanya dilakukan secara berkelompok oleh masyarakat di Buton. Proses pengurungan dimaksud agar gadis-gadis itu lebih fokus menghadapi bimbingan spiritual, petuah, dan pesan moral lainnya. Termasuk pengetahuan tentang pernikahan dan cara membina bahtera rumah tangga yang baik.
Prosesi posuo terdiri atas beberapa ritual. Masing-masing desa memiliki ritual yang berbeda-beda dalam pelaksanaan tradisi Posuo. Namun maksud dan tujuannya sama.
     Ada 3 jenis Posuo yang dikenal di masyarakat Buton;
1. Posuo Wolio yang merupakan tradisi Posuo awal yang berkembang dalam masyarakat Buton.
2. Posuo Johoro yang berasal dari Johor-Melayu, dan
3. Posuo Arabu yang berkembang setelah Islam masuk ke Buton. Posuo Arabu merupakan hasil modifikasi nilai-nilai Posuo Wolio dengan nilai-nilai ajaran Islam. Posuo ini dikembangkan oleh Syekh Haji Abdul Ghaniyyu, seorang ulama besar Buton yang hidup pada pertengahan abad ke-19 yang menjabat sebagai Kenepulu di Kesultanan Buton di bawah kepemimpinan Sultan Buton ke-29 Muhammad Aydrus Qaimuddin.

Keistimewaan ritual Posuo terletak pada prosesinya. Ada beberapa tahap yang mesti dilalui oleh para peserta (gadis-gadis yang mengikuti ritual Posuo) sebelum di daulat sebagai wanita dewasa.
 
Tahap pertama, para peserta akan menjalani ritual pauncura atau pengukuhan peserta sebagai calon peserta Posuo. Pada tahap ini prosesi dilakukan oleh Patika (sebutan Bhisa senior).Acara tersebut ditandai dengan pembakaran dupa kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa.Setelah pembacaan doa selesai, parika melakukan panimpa (pemberkatan) kepada para peserta dengan memberikan sapuan asap kemenyan ke tubuh peserta Posuo. Setelah itu, parika menyampaikan 2 pesan yang menjelaskan tujuan diadakan upacara Posuo dilanjutkan dengan memberitahukan kepada seluruh peserta dan juga keluarga pertanda dimulainya Posuo. Hal ini disusul dengan bunyi-bunyian gendang yang ditabuh oleh petugas pemukul gendang yang dipilih khusus. Biasanya yang diiringi gendang adalah Posuo anak gadis yang Wa Ode (kaum bangsawan / Kaumu), sementara bagi kalangan Walaka (kaum bukan bangsawan) prosesi Posuo diiringi dengan sepa (menendang dinding papan) sebagai pengganti gendang.
Proses pemukulan gendang atau sepa hanya boleh dibunyikan pada waktu tertentu. Gendang atau sepa dibunyikan apabila peserta Posuo akan menjalankan ritual khusus termasuk saat melaksanakan kegiatan, misalnya saat mandi, makan, masuk toilet. Pemukulan gendang atau sepa baru bisa dihentikan ketika peserta Posuo tidur. Pemukulan gendang atau sepa dimulai lagi jika ada salah seorang di antara mereka yang terjaga dan hendak buang air di toilet.
Biasanya saat gendang atau sepa pertama mulai dibunyikan para peserta langsung menangis karena akan melewati masa pengurungannya. Waktu pelaksanaan Posuo juga berbeda-beda, ada yang 4 hari, 1 minggu , dan ada juga yang lebih dari 1 minggu.Selama menjalani ritual, para peserta Posuo tidak hanya dibekali pendidikan spiritual, tetapi porsi makan pun diatur dan dikontrol para Bhisa. Mereka hanya diberi makan seukuran piring kecil yang disebut piri-piri. Para peserta Posuo juga wajib mengikuti proses perawatan yang menggunakan bahan alami (kunyit dan tepung beras putih).Sebelum keluar dari pengurungan/pingitan, para gadis tersebut akan menjalani prosesi Bhaliana Yimpo. Ritual ini dilakukan dengan mengubah posisi tidur para peserta Posuo. Jika sebelumnya arah kepala menghadap ke selatan dan kaki ke arah utara, maka tahap ini kepala peserta dihadapkan ke arah barat dan kaki ke arah timur. Tahap terakhir yakni Mata Kariya. Setelah melewati tahap ini para peserta ritual sudah bisa keluar dari pengurungannya. Sebelum keluar rumah, pada malamnya seluruh peserta yang ikut dalam upacara Posuo terlebih dahulu dimandikan dengan menggunakan wadah yang terbuat dari tanah liat (sebutan Bhosu). Khusus para peserta yang akan segera menikah, airnya dicampur dengan bunga cempaka dan bunga kemboja.

Selanjutnya dilakukan proses ritual pemberkatan dan doa-doa serta ritual membungkus bantal guling dengan tikar pandan oleh pemimpin ritual Posuo.  Air yang digunakan untuk memandikan para peserta Posuo bersumber dari 4 mata air yang berbeda. Orang yang diperintahkan mengambil air tersebut juga tidak sembarang, harus laki-laki yang masih memiliki anggota keluarga yang lengkap atau belum meninggal (ayah dan ibu).


Sumber : wawalauna

Refrensi (1):SSC STIKI

Refrensi (2):STIKI Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar