Pengertian Rambu Solo` adalah upacara pemakaman yang berada di Tana Toraja.
Upacara ini merupakan adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja
secara turun-temurun ini mewajibkan keluarga yang ditinggal mati membuat pesta
besar sebagai penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi.
Rambu Solo
juga merupakan upacara yang meriah karena dilangsungkan selama berhari-hari.
Waktu pelaksanaan Rambu Solo adalah siang hari, yaitu saat matahari condong ke
barat dan biasanya memakan waktu dua sampai tiga hari, bahkan dua minggu bagi
kalangan bangsawan.
B. Simbol-Simbol dalam Rambu Solo
Pelaksanaan
Rambu Solo` juga identik dengan penyembelihan kerbau dan babi. Tetapi yang
paling ditonjolkan dalam upacara tersebut adalah penyembelihan kerbau. Kerbau
merupakan hal utama yang harus ada dalam upacara ini. Masyarakat Toraja
beranggapan bahwa kerbau adalah kendaraan yang ditunggangi arwah si mati untuk
mengantarnya ke surga. Kerbau yang disembelih berkisar puluhan ekor bahkan
jumlah itu bisa mencapai ratusan berdasarkan strata sosialnya. Jenis kerbau
yang disembelih adalah kerbau biasa/kerbau hitam, kerbau balian (kerbau aduan),
dan kerbau belang (kerbau Bonga).
C. Prosesi Upacara Rambu Solo
Bagi
masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya
mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’
maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya
masih ‘sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan
diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan
makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh
arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.
Jika
keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah itu
akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja) sampai pihak keluarga mampu
menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan
jenazah itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Setelah
pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut, barulah Rambu Solo
dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke tongkonan tammuon
(tongkonan pertama tempat dia berasal). Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor
kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma’tinggoro Tedong, yaitu
cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu
kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu
yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan
dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.
Jenazah
berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan
harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas
lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di
tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan
dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.
Setelah
disimpan satu hari, jenazah dipindahkan ke tongkonan yang lebih tinggi, yaitu
tongkonan barebatu. Prosesinya juga sama saat jenazah itu dipindahkan ke
tongkonan tammuon., yaitu penyembelihan kerbau dan pembagian dagingnya kepada
orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.
Seluruh
prosesi acara Rambu Solo’ selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar
pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan
barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan
barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung).
Jenazah
diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba
terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan
keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para
wanita dalam keluarga itu).
Prosesi
pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah
kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda
tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita
yang menarik lamba-lamba.
Dalam
pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama
kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan
tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang
tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang
terakhir barulah duba-duba.
Jenazah
tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi
berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari
bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai
tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara
berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap
di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
Iring-iringan
jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien
(menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu
merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di
rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat
Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di
rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
Setelah
jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu
sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah
prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga
dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma’pasilaga tedong
(adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu
Solo’, adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.
Selama
beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara
berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada
di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore
harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari
oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang
dikuburkan di tebing maupun yang di patane’ (kuburan dari kayu berbentuk rumah
adat).
D. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Rambu
Solo
Upacara
Rambu Solo memiliki nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat, di antaranya
adalah gotong royong dan tolong-menolong. Meskipun terlihat sebagai pemborosan
karena mencari harta untuk dihabiskan dalam suatu kematian, unsur gotong royong
yang terlihat sangatlah jelas, contohnya dalam hal penyediaan kerbau. Suatu
keluarga yang dirundung duka (yang ditinggal mati) mendapat sumbangan kerbau,
babi, atau uang dari sanak keluarganya untuk melangsungkan Rambu Solo.
Unsur
tolong-menolong pun juga berperan dalam pelaksanaan Rambu Solo. Upacara ini
dilakukan oleh siapa pun yang mampu. Biasanya, ada juga pembagian daging kerbau
kepada orang-orang yang tidak mampu. Hal ini menyebabkan adanya pengurangan
kesenjangan sosial.
Selain dua
nilai di atas, nilai religi juga tampak dari upacara Rambu Solo. Masyarakat
Toraja memaknai kematian sebagai suatu hal tak ditakuti karena mereka percaya
bahwa ada kehidupan setelah kematian. Bagi mereka, kematian adalah bagian dari
ritme kehidupan yang wajib dijalani. Walau boleh ditangisi, kematian juga menjadi
kegembiraan yang membawa manusia kembali menuju surga, asal-muasal leluhur.
Dengan kata lain, mereka percaya adanya kehidupan setelah kematian.
Dalam
upacara kematian Rambu Solo, kesedihan tidak terlau tergambar di wajah-wajah
keluarga yang berduka, sebab mereka punya waktu yang cukup untuk mengucapkan
selamat jalan kepada si mati, sebab jenazah yang telah mati biasanya disimpan
dalam rumah adat ( tongkonan ), disimpan bisa mencapai hitungan tahun. Maksud
dari jenazah disimpan ada beberapa alasan, pertama adalah menunggu sampai
keluarga bisa atau mampu untuk melaksanakan upacara kematian Rambu Solo, kedua
adalah menunggu sampai anak-anak dari si mati datang semua untuk siap
menghadiri pesta kematian ini. Karena mereka menganggap bahwa orang yang telah
mati namun belum diupacarakan tradisi Rambu Solo ini dianggap belum mati dan
dikatakan hanya sakit, karena statusnya masih “ sakit “. Orang yang sudah
meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar