adalah permainan perang-perangan
tradisional yang disebut Pasola. Pasola adalah permainan perang dua kelompok
‘pasukan‘ berkuda yang saling melempar lembing (tombak kayu) di sebuah padang
savana. Secara etimologis, Pasola berasal dari kata ‘sola‘ atau ‘hola‘ yang
bermakna tombak kayu atau lembing. Setelah mendapat imbuhan ‘pa‘ menjadi
‘pasola‘ atau ‘pahola‘, maka artinya menjadi permainan ketangkasan menggunakan
lembing.Menurut cerita setempat, tradisi unik ini lahir dari kisah percintaan
janda cantik jelita bernama Rabu Kaba. Sebelum menerima status janda, Rabu Kaba
adalah istri sah dari Umbu Dula, satu di antara tiga bersaudara pemimpin warga
Waiwuang.ketiga bersaudara ini kemudian berpamitan kepada warga Waiwuang untuk
pergi melaut. Namun, ternyata mereka pergi ke daerah selatan Pantai Sumba Timur
untuk mengambil padi. Setelah sekian lama, ternyata ketiga bersaudara tersebut
tak kunjung pulang. Warga pun mencari jejak mereka tetapi tak berhasil
menemukannya. Akhirnya, warga bersepakat mengadakan upacara perkabungan dan
menganggap ketiga bersaudara itu telah meninggal.Singkat cerita, janda cantik
istri mendiang Umbu Dulla kemudian menjalin kasih dengan Teda Gaiparona,
seorang pemuda tampan dari Kampung Kodi. Tetapi, karena peraturan adat tidak
menghendaki percintaan mereka, sepasang kekasih ini kemudian melakukan kawin
lari. Janda cantik itu pun diboyong oleh Teda Gaiparona ke Kampung Kodi. Tak
berapa lama setelah peristiwa kawin lari tersebut, tiga bersaudara Ngongo Tau
Masusu, Yagi Waikareri, dan Umbu Dula pulang kembali ke Kampung Waiwuang, dan
mendapati berita bahwa Rabu Kaba telah dibawa lari oleh Teda
Gaiparona.Perselisihan pun tak dapat dielakkan. Tiga bersaudara ini bersama
seluruh warga Waiwuang meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona karena telah
melarikan Rabu Kaba. Akhirnya kesepakatan pun lahir, yaitu Teda Gaiparona harus
mengganti belis (mas kawin) yang diterima oleh si janda cantik dari keluarga
Umbu Dulla. Setelah itu barulah pernikahan secara adat dapat dilaksanakan. Usai
pernikahan tersebut, Teda Gaiparona berpesan supaya warga melaksanakan Pasola.
Dengan cara ini, diharapkan dendam kedua kampung tersebut dapat dilepaskan
dengan permainan perang-perangan dan adu ketangkasan melempar lembing dari atas
kuda.Pelaksanaan Pasola sendiri sebetulnya merupakan bagian dari ritual
kepercayaan Marapu (agama lokal masyarakat Sumba). dalam kepercayaan Marapu,
elemen terpenting adalah menjaga keharmonisan antara manusia dengan nenek
moyangnya. Sebab, arwah nenek moyang inilah yang akan membawa kesuburan dan
kemakmuran bagi mereka. Nah, permainan Pasola biasanya diadakan sebagai puncak
dari Pesta Adat Nyale, yaitu upacara adat untuk memohon restu para dewa dan
arwah nenek moyang agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik.Waktu
penyelenggaraan Pasola sangat bergantung pada hitungan para tetua adat (Rato)
yang menafsirkan berbagai tanda-tanda alam, termasuk peredaran bulan.
Perhitungan para Rato ini konon tidak pernah meleset. Buktinya, setiap hari
pelaksanaan Pasola, di tepi pantai biasanya terdapat banyak nyale (cacing laut)
sebagai tanda dimulainya permainan Pasola. Dalam kalender Masehi, Pasola
diadakan antara bulan Februari hingga Maret di beberapa tempat di Kabupaten
Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.Dalam permainan yang menantang dan berbahaya
ini, melihat secara langsung dua kelompok ‘Kestaria Sumba‘ yang saling
berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda secara lincah sambil sesekali melesatkan
lembing ke arah lawan. Tak hanya mahir berkuda dan melempar lembing, para peserta
Pasola ini juga sangat tangkas menghindari terjangan tongkat yang dilempar oleh
lawan. Derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda
dan teriakan garang penunggangnya menjadi musik alami yang mengiringi permainan
ini. Belum lagi pekikan para penonton perempuan yang menyemangati para
‘pahlawan‘ mereka di medan laga. Itulah suasana tegang dan menantang dalam
permainan Pasola.Dalam permainan ini, para peserta telah menyiapkan tongkat
kayu khusus sepanjang 1,5 meter dengan diamater 1,5 centimeter. Meskipun
tongkat tersebut dibiarkan tumpul, tak jarang permainan ini melukai para
pesertanya, bahkan bisa memakan korban jiwa. Darah yang mengucur di arena
Pasola dianggap bermanfaat bagi kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Sementara
apabila terdapat korban jiwa, maka korban tersebut dianggap mendapat hukuman
dari para dewa karena telah melakukan suatu pelanggaran. Para peserta yang
terkena lembing—jika memungkinkan—dapat membalasnya di arena ini. Akan tetapi
jika pertandingan telah usai, sementara peserta masih penasaran untuk membalas
terjangan tongkat lawan, maka ia harus bersabar untuk menunggu Pasola pada
tahun berikutnya. Sebab, dalam Pasola tidak dibenarkan untuk mendendam, apalagi
melakukan pembalasan di luar arena Pasola.Pelaksanaan Pasola tidak hanya
merupakan permainan yang bersifat badaniah (profan), melainkan juga
merepresentasikan ketaatan para pemeluk kepercayaan Marapu dalam melaksanakan
adat istiadat para leluhurnya. Oleh karena bersifat sakral, maka sebelum
pelaksanaan Pasola para tetua adat melakukan semedi dan lakutapa (puasa) untuk
memohon berkah kebaikan kepada para leluhur dan para dewa.Selain memiliki nilai
sakral, secara fungsional Pasola juga dapat dilihat sebagai elemen pemersatu
dalam masyarakat Sumba. Sebagaimana cerita tentang asal muasal Pasola, yaitu
untuk menghilangkan dendam antara Kampung Waiwuang dan Kodi, maka Pasola hingga
kini telah menjadi ajang silaturrahmi dan persaudaraan di antara warga. Pada
waktu istirahat, misalnya, yaitu ketika masuk jam makan siang, para peserta dan
penonton akan melebur menjadi satu untuk menikmati makanan khas Pasola, yaitu
ketupat. Pendek kata, warga di antara dua kubu yang ‘berperang‘ dalam Pasola
sama-sama diajak untuk tertawa serta bergembira bersama sambil menyaksikan ketangkasan
para penunggang kuda.Permainan Pasola diselenggarakan di empat kampung di
Kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kampung Kodi,
Kampung Lamboya, Kampung Wanokaka, dan Kampung Gaura, Kabupaten Sumba Barat,
Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pelaksanaan Pasola di keempat kampung
tersebut dilakukan secara bergiliran, antara bulan Februari hingga Maret setiap
tahunnya (bertepatan dengan Upacara Adat Nyale).Akses ke kawasan ini yaitu ke
Kabupaten Sumba Barat terletak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Di pulau
ini terdapat empat kabupaten, antara lain Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten
Sumba Barat Daya, kabupaten Sumba Tengah, serta Kabupaten Sumba Timur. Untuk
menuju Pulau Sumba, wisatawan dapat memafaatkan penerbangan menuju Bandara
Mauhau, Kota Waingapu, Ibu Kota Kabupaten Sumba Timur dari berbagai kota besar
di Indonesia.
Di kota ini juga terdapat pelabuhan laut yang melayani pelayaran dari Pulau Sumbawa, Pulau Flores, maupun Pulau Timor dengan jasa pelayaran Kapal Pelni. Dari Kota Waingapu, wisatawan dapat memanfaatkan transportasi umum seperti bus atau menyewa jasa travel untuk menuju lokasi Pasola di Kabupaten Sumba Barat.
Pelaksanaan Pasola sendiri sebetulnya merupakan bagian dari ritual kepercayaan Marapu (agama lokal masyarakat Sumba). , dalam kepercayaan Marapu, elemen terpenting adalah menjaga keharmonisan antara manusia dengan nenek moyangnya. Sebab, arwah nenek moyang inilah yang akan membawa kesuburan dan kemakmuran bagi mereka. Nah, permainan Pasola biasanya diadakan sebagai puncak dari Pesta Adat Nyale, yaitu upacara adat untuk memohon restu para dewa dan arwah nenek moyang agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik.Waktu penyelenggaraan Pasola sangat bergantung pada hitungan para tetua adat (Rato) yang menafsirkan berbagai tanda-tanda alam, termasuk peredaran bulan. Perhitungan para Rato ini konon tidak pernah meleset. Buktinya, setiap hari pelaksanaan Pasola, di tepi pantai biasanya terdapat banyak nyale (cacing laut) sebagai tanda dimulainya permainan Pasola. Dalam kalender Masehi, Pasola diadakan antara bulan Februari hingga Maret di beberapa tempat di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
Di kota ini juga terdapat pelabuhan laut yang melayani pelayaran dari Pulau Sumbawa, Pulau Flores, maupun Pulau Timor dengan jasa pelayaran Kapal Pelni. Dari Kota Waingapu, wisatawan dapat memanfaatkan transportasi umum seperti bus atau menyewa jasa travel untuk menuju lokasi Pasola di Kabupaten Sumba Barat.
Pelaksanaan Pasola sendiri sebetulnya merupakan bagian dari ritual kepercayaan Marapu (agama lokal masyarakat Sumba). , dalam kepercayaan Marapu, elemen terpenting adalah menjaga keharmonisan antara manusia dengan nenek moyangnya. Sebab, arwah nenek moyang inilah yang akan membawa kesuburan dan kemakmuran bagi mereka. Nah, permainan Pasola biasanya diadakan sebagai puncak dari Pesta Adat Nyale, yaitu upacara adat untuk memohon restu para dewa dan arwah nenek moyang agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik.Waktu penyelenggaraan Pasola sangat bergantung pada hitungan para tetua adat (Rato) yang menafsirkan berbagai tanda-tanda alam, termasuk peredaran bulan. Perhitungan para Rato ini konon tidak pernah meleset. Buktinya, setiap hari pelaksanaan Pasola, di tepi pantai biasanya terdapat banyak nyale (cacing laut) sebagai tanda dimulainya permainan Pasola. Dalam kalender Masehi, Pasola diadakan antara bulan Februari hingga Maret di beberapa tempat di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar