Bangunan ini secara kebanyakan dibuat
menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy ini sendiri terkenal dengan
kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin memperoleh
perlindungan dan kenyamanan.
Bangunan rumah adat
Baduy dibuat tinggi, berupa rumah panggung, mengikuti kontur tanah. Pada tanah
yang permukaannya miring atau tidak rata, rumah disangga dengan tumpukan batu
kali. Batu ini berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan agar tanah tidak
longsor.
Atap rumah
adat baduy berasal dari daun yang dinamakan sulah nyanda. Nyanda maknanya
sikap bersandar, sandarannya tidak lurus tetapi agah rebah ke belakang. Salah
satu sulah nyanda ini dibuat
lebih panjang & memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah
rangka atap.
Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut dibuat hanya dengan berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat dengan memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat banten ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah, ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruang makan yang disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu yang disebut sosoro.
Seluruh
bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah Baduy
hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
Secara
spesifik Henry H Loupias menyusun sebuah tulisan Mengenal Arsitektur Rumah Adat Baduy dalam upayanya
memperkenalkan kearifan dan sinergisitas masyarakat Baduy. Seperti yang saya
kutip secara keseluruhan di bawah ini:“Imah” dalam Arsitektur Baduy Dalam
Pada umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman mengandalkan naluri, termasuk dalam upaya menyesuaikan serta menyelaraskan diri dengan lingkungan alam sekitarnya. Banyak teknik atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi cukup “tinggi” dan mampu memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.
Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke utara-selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang akan didirikan di atasnya.
Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-bangunan tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.
Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk jenis bangunan knock down dan siap pakai, yang terdiri dari beberapa rangkaian komponen. Selanjutnya, komponen-komponen tersebut dirakit atau dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi temen ataupun dengan cara dipaseuk.
Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang, panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering.
Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya bersifat fleksibel dan elastis.
Sumber : rumahadatdiindonesia.
Refrensi (1) :STIKI Malang
Refrensi (2) :ssc stiki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar